Navigasi Dinamika Politik di Indonesia

Diterbitkan PadaRabu, 24 April 2024
Diterbitkan OlehMuryanto Amin
Thumbnail
WhatsappTwitterFacebook

"Mungkin secara logika, ketika calon memiliki dukungan yang luas dari partai-partai koalisi, peluang kemenangan mereka meningkat. Semakin banyaknya partai pendukung mengindikasikan semakin banyak mesin partai bekerja untuk memenangkan calon yang diusung."

Indonesia, sebagai negara yang memiliki keragaman budaya dan populasi besar, telah mengalami perubahan politik yang mencolok dalam beberapa dekade terakhir. Transisi ini telah membawa tantangan dan peluang baru bagi sistem politik negara. Dalam lanskap politik Indonesia, partai politik, lembaga legislatif, dan eksekutif memiliki peran kunci dalam menentukan arah negara dan mengarahkan kebijakan-kebijakan penting. Partai politik berfungsi sebagai penghubung antara pemerintah dan rakyat, sedangkan lembaga legislatif dan eksekutif bekerja sama untuk membentuk dan mengimplementasikan kebijakan yang menggerakkan negara menuju masa depan yang lebih baik. Peran dan dinamika antara ketiga komponen ini memberikan pengaruh besar terhadap stabilitas dan kemajuan politik Indonesia.

Pada intinya, politik adalah tentang bagaimana negara dikelola dan bagaimana kekuasaan didistribusikan. Indonesia telah melalui masa-masa transisi dari rezim otoriter menuju demokrasi yang lebih inklusif. Seiring dengan perubahan tersebut, sistem politik telah mengalami transformasi yang signifikan. Demokrasi menekankan pentingnya instrumen politik dalam membentuk lembaga yang stabil dan berfungsi dengan baik. Infrastruktur dan suprastruktur politik, termasuk partai politik, memainkan peran sentral dalam memastikan kelancaran proses politik. Partai politik tidak hanya berfungsi sebagai perantara antara pemerintah dan rakyat, tetapi juga sebagai kontrol dan keseimbangan terhadap lembaga eksekutif dan legislatif.

Prof. Muryanto Amin menyebutkan Indonesia memiliki sistem multipartai yang kompleks. Dalam pemilihan legislatif, beberapa partai politik bertarung untuk mendapatkan suara terbanyak dan kursi di parlemen. Ia menyebutkan hal menarik, yakni partai yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan legislatif tidak selalu memenangkan pemilihan eksekutif. Ketika partai politik yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan legislatif tidak memenangkan pemilihan eksekutif, hubungan antara keduanya ini bisa menjadi tegang. Tantangan ini membutuhkan upaya lebih untuk menjaga stabilitas pemerintahan dan mendorong kerja sama yang konstruktif.

Fenomena tersebut diteliti lebih jauh oleh Prof. Muryanto Amin bersama, Prof. Humaizi, Suci Rahmadani, dan Muhammad Yusuf. Mereka menyebutkan jika peristiwa ini sering terjadi di pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia. Pada pemilihan gubernur, bupati, atau wali kota seringkali melibatkan partai politik sehingga terjadi pembentukan koalisi. Koalisi ini dapat memengaruhi peluang kemenangan calon tertentu.

“Mungkin secara logika, ketika calon memiliki dukungan yang luas dari partai-partai koalisi, peluang kemenangan mereka meningkat. Semakin banyaknya partai pendukung mengindikasikan semakin banyak mesin partai bekerja untuk memenangkan calon yang diusung. Di sisi lain, partai pengusung pasangan calon yang memenangkan Pilkada juga diasumsikan akan mendapatkan suara tinggi pada pemilihan legislatif,” jelas Prof. Muryanto Amin.

Kenyataannya tidak selalu demikian. Mereka melakukan penelitian pada kontestasi Pilkada Sumatera Utara tahun 2013. Pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi (disebut juga: GANTENG) diusung oleh dua partai parlemen yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dengan meraup 1.604.337 suara.

Sementara pada Pilkada edisi sebelumnya di tahun 2008, pasangan Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho (disebut juga: SAMPURNO) didukung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), PKS, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Patriot Pancasila, Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia dengan meraup 1.396.892 suara. Hal ini menunjukkan popularitas maupun jumlah partai pendukung tidak selalu menentukan perolehan suara yang tinggi, namun tetap memperbesar peluang memenangkan kontestasi.

“Meski telah memenangkan pertarungan Pilkada pada tahun 2013, PKS dan Hanura lantas tidak menjadi juara pada pemilihan legislatif tahun 2014. Terbukti dengan hasil pemilihan legislatif menunjukkan kedua partai hanya memperoleh total 19 kursi dari 100 kursi di parlemen,” kata Prof. Muryanto Amin.

Angka yang cukup kecil diperoleh koalisi pendukung pemerintah (Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara) membuat keputusan atau kebijakan bisa menjadi sulit ketika dukungan suara atau kursi di parlemen terbatas. Kesulitan juga muncul ketika pemenang pemilihan legislatif tidak memenangkan pemilihan eksekutif. Fenomena ini menunjukkan kompleksitas sistem politik Indonesia dan menuntut adaptasi yang fleksibel dari pihak-pihak yang terlibat.

Pemilihan legislatif cenderung membawa perubahan dalam distribusi kursi di parlemen. Partai politik yang sebelumnya mendominasi eksekutif melalui pemilihan kepala daerah kini menghadapi tantangan dalam mempertahankan pengaruhnya di parlemen. Efeknya menurut mereka, ketika partai politik kehilangan kursi di parlemen, mereka juga kehilangan kekuasaan politik yang dapat mempengaruhi kebijakan dan keputusan. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi eksekutif dalam mendapatkan dukungan dari legislatif saat membuat keputusan. Hubungan yang harmonis antara kedua lembaga ini sangat penting untuk memastikan stabilitas pemerintahan dan efektivitas kebijakan.

Menyikapi hal tersebut, mereka melihat pola eksekutif dan legislatif dalam membentuk sebuah komunikasi politik yang efektif. Ketika kedua pihak dapat berkomunikasi dengan baik, proses pembuatan kebijakan dan keputusan menjadi lebih lancar. Misalnya, dalam pembahasan draf peraturan daerah mengenai rencana induk pengembangan pariwisata provinsi Sumatera Utara, komunikasi politik yang lancar antara eksekutif dan legislatif membantu mengatasi tantangan dan menyusun rencana yang komprehensif. Kesepakatan yang dicapai mencerminkan bagaimana komunikasi politik yang baik dapat menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam kesimpulan penelitiannya, mereka menyebutkan jika navigasi dinamika politik di Indonesia berjalan menuju pada arah yang rumit dan tidak mudah diprediksi. Sehingga, pengelolaan eksekutif dan legislatif adalah tugas yang menantang, mengingat kompleksitas sistem multipartai. Meskipun menghadapi banyak tantangan, negara ini terus berkembang dan menyesuaikan diri dengan perubahan politik yang terjadi. Pemenang pada pemilihan eksekutif belum tentu dapat mendominasi di pemilihan legislatif, begitupun sebaliknya pemenang pada pemilihan legislatif belum tentu dapat memenangkan kontestasi pemilihan eksekutif.

“Kolaborasi yang efektif antara lembaga-lembaga politik dan partai-partai dapat membawa stabilitas dan kemajuan bagi Indonesia. Dalam era demokrasi yang terus berkembang, peran partai politik dan lembaga legislatif serta eksekutif sangat penting dalam membentuk masa depan negara,” jelas Prof. Muryanto Amin.

Dalam mengeksplorasi perjalanan politik Indonesia, kita dapat mengapresiasi kompleksitas dan dinamika yang mendasari pemerintahan dan kebijakan negara ini. Melalui komunikasi politik yang efektif dan kerjasama yang konstruktif, Indonesia dapat terus berkembang menuju masa depan yang lebih baik dan inklusif.

Artikel
Artikel Penelitian
SDGs 16

Detail Paper

JudulPolitical Power Shift in the House of Representative of North Sumatra Province, Indonesia: A Political Communication of Post-election
PenulisMuryanto Amin (1), Humaizi (1), Suci Rahmadani (1), Muhammad Yusuf (2)
Afiliasi Penulis
  1. Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
  2. Faculty of Cultural Sciences, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia
Accessibility Icon
disability features
accesibility icon
accesibility icon
accesibility icon
accesibility icon
Scroll Down