Identifikasi Keruing: Upaya Konservasi Cegah Kepunahan
Dr. Arida Susilowati dan tim mengatakan bahwa temuan penelitiannya ini menekankan pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan mengusulkan integrasi konservasi keruing dengan ekowisata untuk meningkatkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam konservasi. "Kami berharap penelitian ini dapat membantu dalam upaya konservasi dan pemulihan populasi keruing," pungkas Dr. Arida Susilowati.
Perkembangan teknologi dan kebutuhan industri yang tinggi memengaruhi ketersediaan bahan baku. Bahan baku yang bersifat sintetis atau buatan mungkin saja dapat bertahan dan selalu tersedia. Namun, berbeda dengan bahan baku alami yang jumlahnya terbatas dan membutuhkan waktu untuk proses pemulihan. Eksploitasi secara berlebihan dan pemanfaatan sumber daya alam yang tidak diiringi dengan program konservasi yang mumpuni mengakibatkan beberapa spesies flora dan fauna menghadapi ancaman kepunahan, salah satunya Keruing.
Keruing (Dipterocarpus spp.) adalah salah satu jenis pohon yang memiliki nilai ekonomi tinggi di Asia Tenggara. Sebagai genus terbesar ketiga dalam keluarga Dipterocarpaceae, keruing tersebar di berbagai negara seperti Cina, Sri Lanka, Burma, Indocina, Thailand, dan Indonesia. Di Indonesia, 38 jenis keruing terutama tumbuh di hutan primer Kalimantan dan Sumatra. Keberagaman flora di Indonesia, khususnya tanaman Keruing, telah menarik perhatian tim peneliti yang dipimpin oleh Dr. Arida Susilowati dari Universitas Sumatera Utara, Indonesia. Tim tersebut terdiri dari peneliti yang berasal dari Universitas Sumatera Utara dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Republik Indonesia dengan anggota Henti Hendalastuti Rachmat, Deni Elfiati, Asep Hidayat, Adhi Nurul Hadi, Anita Zaitunah, Darin Nainggolan, dan Ida Mallia Ginting.
“Keruing dikenal sebagai pohon besar dengan tinggi mencapai 40–50 meter dan diameter batang 100–150 cm. Pohon ini memiliki ciri batang lurus dan ranting berbulu. Kayu keruing banyak digunakan dalam industri pengolahan kayu karena kekuatan dan keawetannya,” jelas Dr. Arida.
Kayu ini dikenal memiliki densitas yang tinggi, yang membuatnya tahan terhadap tekanan dan benturan. Oleh karena itu, keruing sering digunakan dalam pembuatan berbagai produk kayu berkualitas tinggi seperti lantai, furnitur, dan konstruksi bangunan. Selain itu, kayu keruing juga memiliki ketahanan yang baik terhadap serangan hama dan kondisi cuaca ekstrem, menjadikannya pilihan yang populer untuk aplikasi luar ruangan, termasuk pembuatan dek dan jembatan.
Selain itu, keruing juga menghasilkan oleoresin dan minyak yang bernilai tinggi. Minyak keruing, yang mengandung senyawa seperti humulena dan asam oleanolat, digunakan sebagai obat dan bahan wewangian.
Akan tetapi, tingginya permintaan kayu, minyak, dan oleoresin keruing menyebabkan spesies ini dieksploitasi secara berlebihan. Pengambilan kayu secara ilegal dan gangguan habitat semakin memperburuk kondisi. Akibatnya, 25 jenis keruing di Indonesia masuk dalam daftar merah IUCN, dengan status mulai dari rentan hingga sangat terancam punah.
Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara, Indonesia, adalah salah satu habitat penting bagi keruing. Kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan menjadi rumah bagi berbagai spesies satwa dan tumbuhan, termasuk keruing. Namun, penelitian tentang ekologi keruing di TN Gunung Leuser masih sangat terbatas. “Tingginya tingkat eksploitasi pohon keruing tanpa adanya upaya konservasi, bukan tidak mungkin pohon ini akan punah dalam beberapa tahun ke depan,” kata Dr. Arida Susilowati, seorang peneliti dari Universitas Sumatera Utara. “Padahal, kita dapat memanfaatkan pohon keruing ini dalam berbagai aspek, bukan hanya ekosistem tapi juga ekonomi dan kesehatan.”
Penelitian yang dilakukan oleh tim Dr. Arida Susilowati bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sumatera Utara berhasil mengidentifikasi tiga spesies keruing, yaitu D. haseltii, D. costulatus, dan D. elongatus. Ketiga spesies ini menunjukkan distribusi yang berbeda pada berbagai tahap pertumbuhan. D. haseltii diklasifikasikan sebagai terancam punah (EN), D. costulatus sebagai hampir terancam (NT), dan D. elongatus sebagai kritis (CR).
Lebih lanjut, hasil penelitian Dr. Arida dan tim mengatakan bahwa semai merupakan indikator penting bagi regenerasi alami spesies pohon di ekosistem. Di mana, telah ditemukan 47 spesies dengan total 1.042 individu pada tahap semai di Taman Nasional Gunung Leuser. Namun, hanya Dipterocarpus haseltii yang ditemukan dari jenis keruing. Kemudian, pada tahap pancang (anakan pohon dengan ukuran lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm), ditemukan 43 spesies dengan total 1.250 individu, tetapi hanya ditemukan satu jenis D. haseltii dan D. elongatus. Sedangkan pada tahap tiang, tidak ada spesies keruing yang ditemukan.
Keberadaan pohon keruing yang semakin berkurang menunjukkan bahwa regenerasi alami keruing telah terganggu. Gangguan ini disebabkan oleh aktivitas manusia seperti penebangan liar dan pembukaan lahan untuk perkebunan, yang telah terjadi sejak tahun 1920-an. Penebangan pohon keruing yang berharga dan pembukaan kanopi hutan mengurangi populasi pohon induk yang penting untuk regenerasi.
“Adanya pembukaan lahan secara terus-menerus sejak tahun 1920, menyebabkan banyaknya bencana dan bahaya, atau yang kita sebut juga dengan antropogenik, sangat memengaruhi keanekaragaman tanaman dan pola distribusi spesies tumbuhan,” pungkas Dr. Arida Susilowati. Lebih lanjut, regenerasi keruing juga dipengaruhi oleh faktor ketersediaan benih, di mana keruing berbunga dan berbuah setiap lima hingga enam tahun sekali.
Meskipun keruing banyak kita temui di Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan bagian dari taman nasional yang dilindungi, tetapi masih ditemukan gangguan dan ancaman kepunahan yang signifikan dari pohon ini. Oleh karena itu, Dr. Arida Susilowati dan tim mengatakan bahwa temuan penelitiannya ini menekankan pentingnya perlindungan keanekaragaman hayati di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser dan mengusulkan integrasi konservasi keruing dengan ekowisata untuk meningkatkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam konservasi. "Kami berharap penelitian ini dapat membantu dalam upaya konservasi dan pemulihan populasi keruing," pungkas Dr. Arida Susilowati.
Detail Paper
- Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara. Jl. Tri Dharma Ujung No. 1, Kampus USU, Medan 20155, North Sumatra, Indonesia
- Forest Research, Development and Inovation Agency, Ministry of Environment and Forestry. Jl. Raya Gunung Batu, Bogor 16125, West Java, Indonesia
- JATI-Sumatran Forestry Analysis Study Center, Universitas Sumatera Utara. Jl. Tridharma Ujung No.1, Kampus USU Medan 20155, North Sumatra, Indonesia
- Gunung Leuser National Park, Ministry of Environment and Forestry. Jl. Selamat No. 137, Medan 20219, North Sumatra, Indonesia