Perilaku Keuangan yang Efektif: Kepuasan Finansial di Tangan Anda
Pelajari bagaimana perilaku keuangan menjadi kunci dalam mencapai kepuasan finansial. Temuan dari studi Dr. Khaira Amalia, Muhammad Faidhil Iman, dan Kashan Pirzada mengungkap peran perilaku keuangan sebagai mediator antara ciri kepribadian dan kepuasan finansial.
Kepuasan finansial merupakan elemen kunci dalam kesejahteraan hidup kita secara keseluruhan. Bukan hanya tentang memiliki jumlah uang tertentu, tetapi juga tentang bagaimana kita mengelola keuangan dengan efektif dan merasa puas dengan situasi keuangan kita. Pada inti dari kepuasan finansial terletak perilaku keuangan kita—bagaimana kita menabung, berinvestasi, membelanjakan, dan mengelola utang. Dalam sebuah studi terbaru oleh Dr. Khaira Amalia Fachrudin, Muhammad Faidhil Iman (Universitas Sumatera Utara, Indonesia), dan Kashan Pirzada (University Utara Malaysia, Malaysia), peran perilaku keuangan diungkapkan sebagai mediator penting antara karakteristik sosioekonomi, ciri kepribadian neurotik, dan kepuasan finansial. Temuan ini memberikan wawasan berharga tentang bagaimana perilaku keuangan dapat mendukung atau menghambat perjalanan seseorang menuju kepuasan finansial, tergantung pada berbagai faktor pribadi dan sosioekonomi.
Kepuasan finansial dicapai melalui manajemen keuangan yang efektif. Orang-orang yang puas dengan keuangan mereka biasanya berada dalam kondisi keuangan yang baik, artinya mereka tidak hanya mengelola pendapatan dan pengeluaran dengan baik, tetapi juga merasa yakin dalam pengambilan keputusan finansial mereka. “Namun, kepuasan finansial bukanlah konsep yang seragam. Berbagai faktor sosioekonomi seperti usia, pendapatan, pendidikan, status pernikahan, dan bahkan sifat kepribadian membentuk bagaimana individu merasakan dan mengalami situasi keuangan mereka,” jelas Dr. Khaira Amalia.
Studi ini mengungkap bahwa seiring bertambahnya usia seseorang, kepuasan finansial cenderung meningkat, mungkin karena pengalaman yang lebih banyak dalam mengelola keuangan serta stabilitas pendapatan yang lebih tinggi. Pendapatan itu sendiri merupakan prediktor kuat dari kepuasan finansial, karena mereka yang berpenghasilan lebih tinggi umumnya merasa lebih aman dalam keputusan keuangan mereka. Menariknya, status pernikahan memberikan hasil yang beragam; bagi sebagian orang, pernikahan membawa stabilitas finansial, sementara bagi yang lain, pernikahan dapat menimbulkan tantangan keuangan tergantung pada bagaimana keuangan dikelola dalam hubungan tersebut.
Namun, kepuasan finansial tidak hanya terkait dengan karakteristik sosioekonomi—ia juga sangat terikat dengan ciri-ciri kepribadian, khususnya neurotisisme. Neurotisisme, salah satu dari lima besar sifat kepribadian, seringkali terwujud dalam bentuk kecemasan, suasana hati yang mudah berubah, dan ketidakstabilan emosional. Orang-orang dengan skor neurotisisme yang tinggi lebih cenderung mengalami hasil keuangan yang negatif, sebagian besar karena ketidakstabilan emosional mereka dapat menyebabkan pengambilan keputusan keuangan yang buruk. Sifat ini membuat mereka rentan terhadap pembelanjaan impulsif, penumpukan utang, dan keengganan untuk berinvestasi dalam jangka panjang. Akibatnya, individu dengan kepribadian neurotik mungkin menemukan diri mereka dalam lingkaran ketidakpuasan finansial, di mana perilaku mereka justru memperburuk stres dan ketidakbahagiaan mereka terkait situasi keuangan mereka.
Dr. Khaira Amalia menegaskan perilaku keuangan berperan sebagai mediator penting. Studi ini menekankan bahwa meskipun karakteristik sosioekonomi dan ciri kepribadian neurotik dapat memengaruhi kepuasan finansial, penentu kunci dari bagaimana faktor-faktor ini berperan terletak pada bagaimana individu mengelola perilaku keuangan mereka. Mereka yang menunjukkan perilaku keuangan yang positif—baik itu menabung dengan disiplin, berinvestasi dengan bijak, atau mengelola pengeluaran dengan bertanggung jawab—cenderung mencapai kepuasan finansial yang lebih besar, terlepas dari tingkat pendapatan atau tipe kepribadian mereka.
Perilaku keuangan didefinisikan sebagai cara orang mengelola tabungan, investasi, pengeluaran, dan utang. Perilaku keuangan seseorang dapat bekerja untuk keuntungan atau kerugian mereka, tergantung pada seberapa baik mereka mengelola berbagai aspek kehidupan finansial mereka. Misalnya, mereka yang secara konsisten menabung untuk masa depan, menghindari utang berlebih, dan berinvestasi dengan bijak lebih mungkin merasa puas dengan situasi keuangan mereka. Di sisi lain, pemboros impulsif, mereka yang mengakumulasi utang tinggi tanpa rencana pembayaran, dan mereka yang menghindari investasi cenderung menghadapi ketidakpuasan finansial.
Penelitian ini dilakukan menggunakan data dari 600 peserta Indonesia. Dengan mengumpulkan data melalui kuesioner terstruktur, para peneliti dapat menganalisis bagaimana karakteristik sosioekonomi dan ciri kepribadian neurotik memengaruhi kepuasan finansial melalui lensa perilaku keuangan. “Analisis dilakukan menggunakan pemodelan persamaan struktural partial least squares (PLS-SEM), metode canggih yang memungkinkan para peneliti untuk menilai bagaimana beberapa variabel berinteraksi satu sama lain,” papar Dr. Khaira Amalia.
Hasilnya dengan jelas menunjukkan bahwa perilaku keuangan bertindak sebagai mediator yang signifikan. Misalnya, studi ini menemukan bahwa individu dengan skor neurotisisme yang tinggi—mereka yang lebih rentan terhadap kecemasan dan perubahan emosi—cenderung terlibat dalam perilaku keuangan yang negatif. Mereka mungkin lebih cenderung berbelanja secara impulsif atau menghindari investasi yang baik, yang mengakibatkan kepuasan finansial yang lebih rendah. Individu-individu ini sering kali mendapati diri mereka dalam kesulitan finansial, bukan karena pendapatan atau tingkat pendidikan mereka, tetapi karena perilaku mereka mendorong mereka menuju pengambilan keputusan keuangan yang buruk. Individu neurotik lebih cenderung terlibat dalam perilaku seperti pembelian kompulsif atau menghindari investasi jangka pendek, yang keduanya dapat menyebabkan ketidakstabilan dan ketidakpuasan finansial.
Dr. Khaira Amalia menyebutkan sebuah kesimpulan bahwa jika seseorang memiliki sifat kepribadian tertentu yang membuat mereka cenderung mengambil keputusan keuangan yang buruk, mereka masih dapat berusaha memperbaiki perilaku keuangan mereka untuk mencapai hasil keuangan yang lebih baik. Bagi mereka yang memiliki kepribadian neurotik, studi ini menyarankan bahwa mencari bantuan saat membuat keputusan keuangan dapat secara signifikan memperbaiki perilaku keuangan mereka. Baik melalui penasihat keuangan atau dukungan dari keluarga dan teman, individu neurotik dapat mengambil manfaat dari panduan eksternal untuk membantu mereka mengelola keuangan dengan lebih efektif.
Temuan studi ini juga memiliki implikasi yang lebih luas bagi pembuat kebijakan dan pendidik keuangan. Perilaku keuangan dapat dibentuk melalui intervensi yang ditargetkan, seperti program literasi keuangan yang berfokus pada membantu orang mengembangkan kebiasaan keuangan yang positif. Ini sangat relevan bagi individu dengan ciri kepribadian neurotik, yang mungkin membutuhkan dukungan ekstra dalam mengelola emosi dan impuls saat membuat keputusan keuangan. Dengan berfokus pada peningkatan perilaku keuangan, individu dan organisasi dapat meningkatkan kesejahteraan finansial dalam skala yang lebih besar.
Studi ini menonjol karena tidak hanya memberikan bukti empiris tentang pentingnya perilaku keuangan, tetapi juga menyoroti potensi perubahan. Kepuasan finansial tidak sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor seperti usia, pendapatan, atau ciri-ciri kepribadian. Sebaliknya, ini adalah hasil dinamis yang dapat dipengaruhi oleh cara kita memilih untuk mengelola keuangan kita.
“Ini adalah pesan yang memberdayakan bagi mereka yang mungkin merasa terjebak oleh keadaan mereka—baik karena pendapatan rendah atau kepribadian neurotik. Dengan membuat perubahan yang disengaja pada perilaku keuangan mereka, individu dapat mengendalikan kepuasan finansial mereka dan bekerja menuju masa depan keuangan yang lebih aman,” pungkas Dr. Khaira Amalia.
Detail Paper
- Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera Utara (USU), Indonesia
- Department of Accounting & Taxation, Tunku Puteri Intan Safinaz School of Accountancy, University Utara Malaysia
- Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Sumatera Utara (USU), Indonesia