A11Y

HOME

MENU

CARI

Kehidupan Pesisir dan Tantangan Sanitasi

Diterbitkan Pada12 September 2024
Diterbitkan OlehDr. Susilawati S.Si., M.Si.
Kehidupan Pesisir dan Tantangan Sanitasi
Copy Link
IconIconIcon

Penelitian ini mengungkap masalah sanitasi serius yang dihadapi masyarakat pesisir Indonesia, seperti di Kecamatan Percut Sei Tuan, Sumatera Utara. Dengan pendekatan holistik, sanitasi yang lebih baik dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat pesisir.

Saat matahari terbit di ufuk timur, garis pantai terlihat indah dengan hiasan sinar oranye yang memantul di permukaan laut. Anak-anak berlarian di pasir, tawa riang mereka bercampur dengan deburan ombak. Namun, di balik keindahan ini, tersembunyi kenyataan yang sering tidak terlihat oleh pengunjung, yaitu masalah sanitasi di kawasan pesisir. Di banyak kawasan pesisir Indonesia, kehidupan sehari-hari masyarakat dihadapkan pada tantangan serius, salah satunya adalah pengelolaan sanitasi yang buruk.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki ribuan komunitas yang tinggal di pesisir. Sayangnya, banyak dari masyarakat pesisir yang masih berjuang dengan masalah kebersihan lingkungan yang mendesak, mulai dari air minum yang tidak aman hingga kebiasaan buang air besar sembarangan. Permasalahan ini tidak hanya berkaitan dengan sanitasi, tetapi juga dengan kehidupan yang layak dan hak dasar manusia.

Kecamatan Percut Sei Tuan, Provinsi Sumatera Utara, menjadi contoh nyata bahwa permasalahan sanitasi masyarakat pesisir begitu kentara. Permasalahan ini menggerakkan Susilawati, R. Hamdani Harahap, Miswar Budi Mulya, dan Lita Sri Andayani untuk melaksanakan amanah Tri Dharma perguruan tinggi dalam pengabdian kepada masyarakat. Mereka menyoroti rendahnya manajemen sanitasi di kawasan pesisir ini. Faktanya, hanya 7,42% rumah tangga di Indonesia memiliki akses sanitasi yang aman dan merata. Sementara itu, sekitar 25,42% belum memiliki sanitasi yang layak, dan 9,36% di antaranya masih buang air besar tanpa toilet tertutup, yang menggambarkan betapa gentingnya situasi ini. Banyak keluarga hidup dalam kondisi sanitasi yang jauh dari layak, sangat bertentangan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Masyarakat pesisir Percut Sei Tuan hidup dalam lingkungan yang menantang, baik secara ekonomi maupun kesehatan. Sistem sanitasi yang buruk berdampak langsung pada kesehatan mereka. Penelitian menemukan bahwa akibat kondisi kebersihan yang tidak memadai, banyak warga mengalami berbagai masalah kesehatan, termasuk penyakit yang berhubungan dengan air, seperti diare dan infeksi saluran pencernaan. “Kondisi ini tidak hanya mengancam kesehatan, tetapi juga nyawa, terutama anak-anak yang lebih rentan terhadap infeksi akibat lingkungan yang kotor,” ungkap Susilawati dalam penelitiannya.

Penelitian ini juga menyoroti bahwa perempuan, sebagai penjaga rumah tangga dan kesehatan keluarga, memegang peran penting dalam urusan sanitasi. Tantangan yang mereka hadapi di antaranya adalah akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak yang sering kali terbatas, sehingga mereka harus melakukan upaya ekstra untuk menjaga kebersihan keluarga. Sayangnya, upaya ini sering kali tidak cukup, terutama ketika lingkungan sekitar tidak mendukung. Peran pemerintah dan pemimpin masyarakat dalam mengatasi masalah ini dinilai masih minim. Meskipun sudah banyak inisiatif yang dilakukan, hasilnya belum maksimal. Pemimpin masyarakat dan tokoh agama seharusnya menjadi motor penggerak perubahan perilaku di tingkat akar rumput, namun kenyataannya, mereka sering kali hanya berperan marginal dalam upaya meningkatkan sanitasi lingkungan.

Data yang diperoleh dari penelitian ini tidak hanya menggambarkan situasi sanitasi yang memprihatinkan, tetapi juga mencoba memahami faktor-faktor yang memengaruhi perilaku masyarakat dalam mengelola sanitasi mereka. Penelitian ini melibatkan lebih dari 500 ribu rumah tangga, dengan sampel 414 rumah tangga yang dipilih secara acak untuk mendapatkan data yang representatif. Penelitian ini juga menemukan bahwa faktor-faktor seperti status tempat tinggal, peran gender, peran pemangku kepentingan, infrastruktur, serta faktor sosial budaya dan ekonomi, semuanya berkontribusi terhadap perilaku sanitasi masyarakat. Salah satu temuan penting adalah bahwa praktik sosial budaya memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perilaku sanitasi. Nilai-nilai budaya dan norma yang berlaku di masyarakat dapat memengaruhi cara mereka memandang kebersihan dan kesehatan.

“Misalnya, dalam masyarakat yang kuat dengan nilai-nilai tradisional, kebiasaan buang air besar sembarangan mungkin dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan tidak perlu dipermasalahkan. Di sinilah peran penting pemimpin masyarakat dan tokoh agama untuk mengedukasi masyarakat bahwa sanitasi yang buruk dapat berdampak pada kesehatan seluruh komunitas,” jelas Hamdani yang turut dalam penelitian.

Namun, perubahan perilaku tidak bisa dilakukan tanpa dukungan infrastruktur yang memadai. Meskipun masyarakat mungkin ingin mengubah perilaku, jika tidak ada fasilitas yang tersedia, perubahan tersebut menjadi sulit diwujudkan. Terlebih di banyak kawasan pesisir, ketersediaan air bersih dan jamban yang layak masih menjadi masalah besar. Tidak sedikit rumah tangga yang harus mengambil air dari sumber yang tidak aman atau bahkan langsung dari laut, yang tentu saja berisiko terhadap kesehatan mereka.

Menelaah permasalahan tersebut, Hamdani dan tim mengusulkan bahwa pendekatan holistik sangat diperlukan dalam mengatasi masalah sanitasi di kawasan pesisir. Tidak cukup hanya dengan memberikan fasilitas, tetapi perlu ada intervensi yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, mulai dari pemerintah, pemimpin masyarakat, hingga individu di dalam rumah tangga.

Pemerintah sebagai penggerak utama memiliki peran krusial dalam menyediakan infrastruktur yang memadai, namun upaya ini tidak akan berhasil tanpa partisipasi aktif dari masyarakat. Perubahan perilaku tidak bisa dipaksakan, tetapi harus dilakukan melalui pendekatan yang persuasif dan edukatif. Dalam hal ini, tokoh-tokoh lokal, seperti pemimpin adat dan agama, bisa menjadi jembatan efektif antara program pemerintah dan masyarakat.

“Di sisi lain, keterlibatan perempuan dalam pengelolaan sanitasi juga harus mendapat perhatian lebih. Sebagai pihak yang sering kali bertanggung jawab atas kebersihan rumah tangga, perempuan harus dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program sanitasi. Namun, bukan berarti peran laki-laki bisa diabaikan. Keterlibatan semua pihak, termasuk laki-laki, sangat penting untuk menciptakan perubahan yang berkelanjutan,” tambah Hamdani.

Masyarakat pesisir mungkin terlihat tenang dan damai dari luar, tetapi di balik itu terdapat banyak tantangan yang harus dihadapi. Sanitasi merupakan salah satu dari sekian banyak masalah yang dihadapi sehari-hari. Namun, jika diatasi dengan baik, masalah ini bisa membawa perubahan besar dalam kualitas hidup mereka. Studi ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang tepat, perubahan tersebut mungkin terjadi. Dibutuhkan kerja sama yang baik dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah yang menyediakan fasilitas, hingga masyarakat yang mau mengubah perilaku mereka. Pemimpin masyarakat juga harus mengambil peran lebih aktif dalam mendorong perubahan di tingkat akar rumput.

“Harapan ke depan adalah bahwa kehidupan di pesisir tidak hanya dikenal karena keindahan alamnya, tetapi juga karena kebersihan dan kesehatan lingkungannya. Dengan dukungan yang tepat, sanitasi di kawasan pesisir bisa diperbaiki, sehingga masyarakat bisa hidup lebih sehat dan layak. Perubahan ini mungkin tidak terjadi dalam semalam, tetapi dengan langkah-langkah kecil yang konsisten, masa depan yang lebih baik untuk masyarakat pesisir bukanlah sesuatu yang mustahil,” tutup Hamdani.

Artikel
SDGs 11
SDGs
Artikel Penelitian

Detail Paper

JurnalHeliyon
JudulBehavior Model of Community-based Sanitation Management in Coastal Areas: Conformatory Factor Analysis
PenulisSusilawati (1,2), R. Hamdani Harahap (3), Miswar Budi Mulya (4), Lita Sri Andayani (5)
Afiliasi Penulis
  1. Doctoral Program in Natural Resources and Environment Management, Graduate School, Universitas Sumatera Utara, Medan, North Sumatra, Indonesia
  2. Faculty of Public Health, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Indonesia
  3. Faculty of Social and Political Science, Universitas Sumatera Utara, Indonesia
  4. Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Universitas Sumatera Utara, Indonesia
  5. Faculty of Public Health, Universitas Sumatera Utara, Indonesia

Fitur Aksesibilitas

  • Grayscale

  • High Contrast

  • Negative Contrast

  • Text to Speech

icon

Universitas Sumatera Utara

Online

Halo, Ada Yang Bisa Saya Bantu?