Menyelami Masa Depan Ekowisata Orangutan di Pulau Sumatra
Orangutan, simbol keanekaragaman hayati, hidup di hutan hujan tropis Sumatra dan Borneo. Prof. Agus Purwoko menjelaskan keunikan tiga spesies orangutan serta strategi ekowisata yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Di tengah rimbunnya hutan hujan tropis yang membentang di Sumatra dan Borneo, hidup makhluk yang memancarkan daya tarik luar biasa—orangutan. Dengan lengan panjang yang kuat dan bulu merah yang khas berkilauan di bawah sinar matahari, mereka bukan hanya ikon keindahan alam, tetapi juga simbol keanekaragaman hayati yang harus dijaga. Gerakan mereka yang anggun di antara pepohonan, disertai dengan kecerdasan dan ekspresi wajah yang menggemaskan, membuat siapa saja yang melihatnya akan terpesona.
Ahli Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara, Indonesia, Prof. Agus Purwoko, menyebutkan bahwa orangutan terbagi menjadi tiga spesies yang unik: orangutan Kalimantan (Bornean), orangutan Sumatra, dan orangutan Tapanuli. Masing-masing spesies ini memiliki karakteristik khas yang menambah keragaman dan keunikan mereka. Orangutan Kalimantan dikenal dengan tubuh mereka yang lebih besar dan wajah yang lebih lebar, sementara orangutan Sumatra memiliki tubuh yang lebih ramping dan wajah yang lebih oval. Orangutan Tapanuli, yang merupakan penemuan terbaru dalam dunia primatologi, memiliki fitur yang sangat berbeda dan hanya ditemukan di wilayah Tapanuli, Sumatra Utara.
"Keberadaan orangutan bukan hanya vital bagi ekosistem hutan hujan, tetapi juga memikat hati manusia yang menyaksikan mereka. Mereka berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dengan menyebarkan biji-bijian yang mereka makan, yang pada gilirannya membantu regenerasi hutan. Selain itu, orangutan menjadi pusat perhatian dalam dunia ekowisata karena pesona fisik dan perilaku mereka. Wisatawan dari seluruh dunia datang ke Pulau Sumatra untuk melihat langsung kehidupan liar orangutan, menyaksikan bagaimana mereka bermain, berinteraksi, dan merawat anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang," sebut Prof. Agus Purwoko.
Keunikan perilaku orangutan, seperti penggunaan alat untuk mendapatkan makanan dan cara mereka membangun sarang di atas pohon setiap malam, menambah daya tarik mereka. Setiap perjumpaan dengan orangutan menawarkan pengalaman yang mendalam dan menginspirasi, mengingatkan kita akan keterkaitan kita dengan alam dan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati. Hal tersebut mendasari Prof. Agus Purwoko untuk melakukan observasi lanjutan terkait kehidupan orangutan. Tim tersebut terdiri dari Wanda Kuswanda, Rospita Odorlina Pilianna Situmorang, Muhammad Hadi Saputra, dan Parlin Hotmartua Putra Pasaribu (Badan Riset dan Inovasi Nasional-BRIN) serta Freddy Jontara Hutapea (University of Melbourne).
Mereka berpendapat bahwa Pulau Sumatra menjadi destinasi utama bagi mereka yang ingin merasakan kedekatan dengan alam dan mempelajari lebih dalam tentang upaya konservasi. Sejak tahun 1973, pusat konservasi orangutan mulai dikembangkan di Pulau Sumatra, dengan Stasiun Konservasi Bukit Lawang sebagai pionirnya. Dibangun untuk merehabilitasi orangutan yang terlantar atau dipelihara secara ilegal, Bukit Lawang telah menjadi simbol harapan bagi kelestarian orangutan.
"Namun, perjalanan pusat konservasi ini tidaklah mudah. Krisis moneter tahun 1997, banjir bandang yang menghancurkan pada tahun 2003, dan pandemi COVID-19 adalah beberapa tantangan besar yang harus dihadapi. Meskipun begitu, Bukit Lawang tetap bertahan dan berusaha untuk terus berkontribusi dalam konservasi orangutan," kata Prof. Agus Purwoko.
Potensi ekowisata orangutan di Sumatra sangat besar. Pusat-pusat konservasi ini tidak hanya memiliki dukungan ekologi yang kuat, tetapi juga fasilitas yang memadai dan kekayaan kearifan lokal. Keberadaan orangutan yang karismatik dan kisah perjuangan mereka dapat memberikan nilai tambah yang signifikan bagi pengembangan ekowisata. Bayangkan sebuah wisata yang tidak hanya menawarkan pemandangan indah, tetapi juga pengalaman mendalam tentang konservasi dan kehidupan liar, di mana wisatawan bisa belajar dan berpartisipasi langsung dalam upaya pelestarian.
Prof. Agus Purwoko menjelaskan bahwa pengembangan ekowisata orangutan memerlukan strategi yang komprehensif dan terencana. Langkah pertama adalah memetakan lokasi dan distribusi orangutan liar. Ini penting untuk memastikan bahwa kegiatan wisata tidak mengganggu habitat alami mereka. Selain itu, pengelolaan orangutan yang berada di pusat konservasi harus dilakukan dengan hati-hati untuk menjaga kesejahteraan mereka.
Penyediaan paket wisata yang menarik dan edukatif adalah langkah berikutnya. Paket ini dapat mencakup perjalanan mendalam ke hutan, sesi edukasi tentang konservasi, dan interaksi dengan komunitas lokal. Wisatawan dapat mengikuti tur yang dipandu oleh ahli, menyaksikan rehabilitasi orangutan, dan bahkan berpartisipasi dalam program pelepasliaran. Pemberdayaan masyarakat sekitar juga sangat penting. Masyarakat harus dilibatkan dalam pengelolaan ekowisata ini melalui pendekatan Community-Based Ecotourism Management (CBEM). Model ini tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga memastikan bahwa manfaat ekowisata dirasakan oleh masyarakat lokal.
"Selain itu, penting untuk mengembangkan model berbagi manfaat yang adil dan mengantisipasi serta meminimalkan dampak negatif ekowisata terhadap orangutan. Integrasi ekowisata orangutan dengan kearifan lokal juga bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Misalnya, wisatawan bisa belajar tentang budaya dan tradisi lokal yang berhubungan dengan pelestarian alam," jelas Prof. Agus Purwoko.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai regulasi untuk melindungi flora dan fauna, termasuk orangutan. Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem No. 5/1990 dan Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999 adalah beberapa di antaranya. Regulasi ini mendukung pengembangan pariwisata berbasis alam dan ekowisata berbasis masyarakat. Namun, observasi lapangan yang dilakukan Prof. Agus Purwoko dan tim menemukan bahwa implementasi di lapangan masih memerlukan upaya dan dukungan yang lebih besar. Peran serta aktif pemerintah dan kerja sama dengan organisasi non-pemerintah sangat penting untuk memastikan regulasi ini berjalan efektif.
Hasil penelitian yang dilakukan Prof. Agus Purwoko dan tim menunjukkan bahwa ekowisata orangutan di Sumatra menghadapi berbagai tantangan. Penurunan jumlah kunjungan ke Stasiun Konservasi Bukit Lawang sebesar 62% antara tahun 2014 dan 2016 menunjukkan adanya masalah yang perlu diatasi. Pandemi COVID-19 juga berdampak negatif terhadap ekowisata ini. Stasiun Konservasi Bukit Lawang adalah satu-satunya pusat yang telah berhasil mensinergikan konservasi dan ekowisata dengan baik. Pusat konservasi lain seperti Jantho, Batu Mbelin, dan Sungai Pengian memiliki potensi besar, namun belum sepenuhnya diimplementasikan.
Ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan mendesak untuk inovasi dan adaptasi dalam strategi ekowisata. Misalnya, pengembangan ekowisata digital atau virtual bisa menjadi salah satu solusi untuk menarik kembali minat wisatawan. Dalam penelitian tersebut, Prof. Agus Purwoko dan tim mengemukakan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
- Pemetaan Lokasi dan Distribusi Orangutan Liar di Habitat Alaminya: Melakukan pemetaan yang akurat untuk mengetahui lokasi dan distribusi orangutan liar sangat penting. Informasi ini membantu dalam merencanakan kegiatan ekowisata yang tidak mengganggu habitat mereka dan memastikan wisatawan mendapatkan pengalaman otentik.
- Pengelolaan Orangutan di Pusat Konservasi: Mengelola orangutan yang berada di pusat konservasi, baik yang dalam penangkaran penuh maupun semi-penangkaran, dengan standar kesejahteraan tinggi. Ini termasuk perawatan medis, nutrisi yang tepat, dan lingkungan yang meniru habitat alami mereka untuk menjaga kesehatan fisik dan mental mereka.
- Penyediaan Paket Wisata: Mengembangkan paket wisata yang menarik dan edukatif. Paket ini dapat mencakup tur hutan, pengamatan langsung orangutan di habitat alami atau pusat konservasi, sesi edukasi tentang konservasi, dan partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi orangutan.
- Pemberdayaan Masyarakat: Melibatkan masyarakat lokal dalam setiap aspek ekowisata. Pelatihan dan pemberdayaan mereka untuk menjadi pemandu wisata, pengelola homestay, atau pengrajin suvenir akan memberikan manfaat ekonomi langsung dan meningkatkan rasa kepemilikan terhadap program konservasi.
- Penguatan Kelembagaan Manajemen Ekowisata Berbasis Masyarakat (CBEM): Menguatkan kelembagaan yang mengelola ekowisata berbasis masyarakat agar mampu menjalankan program secara efektif dan berkelanjutan. Ini termasuk pembentukan dan pengembangan kelompok kerja, pelatihan manajemen, dan penyediaan akses terhadap sumber daya dan informasi.
- Pengembangan Ekowisata Melalui Model Pembagian Manfaat: Mengembangkan model pembagian manfaat yang adil dan transparan sehingga semua pihak, termasuk masyarakat lokal, pusat konservasi, dan pemerintah, mendapatkan manfaat dari ekowisata ini. Ini akan menciptakan insentif untuk melestarikan orangutan dan habitatnya.
- Antisipasi dan Minimalkan Dampak Negatif Ekowisata terhadap Orangutan: Mengidentifikasi dan meminimalkan potensi dampak negatif ekowisata terhadap orangutan, seperti gangguan habitat dan risiko penyakit. Langkah-langkah ini meliputi pengaturan jumlah wisatawan, pengawasan ketat terhadap interaksi wisatawan dengan orangutan, dan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
- Integrasi Wisata Orangutan dengan Kearifan Lokal: Mengintegrasikan wisata orangutan dengan kearifan lokal untuk menciptakan pengalaman wisata yang unik dan autentik. Ini bisa meliputi partisipasi dalam upacara adat, belajar tentang penggunaan tradisional tumbuhan obat, atau mengenal mitos dan cerita rakyat yang berkaitan dengan orangutan dan lingkungan sekitarnya.
Dengan strategi-strategi ini, ekowisata orangutan di Pulau Sumatra tidak hanya akan memberikan pengalaman yang tak terlupakan bagi wisatawan, tetapi juga mendukung upaya konservasi yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Mereka bukan hanya penerima manfaat, tetapi juga penggerak utama dalam menjaga kelestarian orangutan dan lingkungan mereka. Pendekatan berbasis masyarakat ini akan memastikan bahwa ekowisata yang berkembang tidak hanya berkelanjutan secara ekologi, tetapi juga berkelanjutan secara sosial dan ekonomi. Selain itu, edukasi dan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya konservasi orangutan harus terus ditingkatkan.
"Pentingnya keterlibatan masyarakat dan praktik manajemen yang berkelanjutan ditekankan untuk memastikan kelangsungan jangka panjang program konservasi dan ekowisata orangutan. Dengan strategi yang tepat, ekowisata orangutan di Sumatra tidak hanya akan berkembang, tetapi juga akan menjadi model bagi upaya konservasi dan pariwisata berbasis alam di seluruh dunia. Ini adalah perjalanan panjang yang memerlukan kerja keras dan komitmen, namun hasilnya akan sangat berarti bagi masa depan orangutan dan kesejahteraan lingkungan kita," pungkas Prof. Agus Purwoko.
Detail Paper
- Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara, Jl. Tri Darma Ujung 1 Padang Bulan, Medan 20155, Indonesia
- Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Gedung B.J. Habibie, Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta 10340, Indonesia
- Pusat Riset Populasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Gd. Widya Graha Lt. X, Jl. Jend. Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710, Indonesia
- School of Ecosystem and Forest Sciences, Faculty of Science, The University of Melbourne, Creswick, VIC 3363, Australia