A11Y

HOME

MENU

CARI

Dosen Fahutan USU, Onrizal, Bahas Penguatan Masyarakat Adat di Greenpress Community Jakarta

Diterbitkan Pada09 Desember 2024
Diterbitkan OlehRenny Julia Harahap
Dosen Fahutan USU, Onrizal, Bahas Penguatan Masyarakat Adat di Greenpress Community Jakarta
Copy Link
IconIconIcon

Dosen Fahutan USU, Onrizal, Bahas Penguatan Masyarakat Adat di Greenpress Community Jakarta

 

Diterbitkan oleh

Renny Julia Harahap

Diterbitkan pada

Senin, 09 Desember 2024

Logo
Download

Undangan sebagai narasumber kepada Onrizal tersebut merupakan salah satu kepercayaan yang diberikan oleh GJI mengingat kompetensi dan konsistensinya, dengan harapan dapat memberikan wawasan yang berharga mengenai kontribusi masyarakat adat dalam menjaga kelestarian ekosistem Batang Toru, serta tantangan dan peluang yang mengiringinya.

MEDAN-HUMAS USU: Onrizal S.Hut, M.Si, Ph.D, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara, diundang sebagai salah seorang narasumber dalam talkshow yang membahas “Penguatan Masyarakat Adat dalam Menyelamatkan Ekosistem Batang Toru”. Talkshow tersebut diselenggarakan oleh Green Justice Indonesia (DJI)yang selama beberapa tahun berjalan mendampingi masyarakat adat di sekitar kawasan Batang Toru dan Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ), berlangsung diGreenpress Community M Bloc, Jakarta Selatan, Sabtu (23/11/2024).

Undangan sebagai narasumber kepada Onrizal tersebut merupakan salah satu kepercayaan yang diberikan oleh GJI mengingat kompetensi dan konsistensinya, dengan harapan dapat memberikan wawasan yang berharga mengenai kontribusi masyarakat adat dalam menjaga kelestarian ekosistem Batang Toru, serta tantangan dan peluang yang mengiringinya.

Selain Onrizal, talkshow juga menghadirkan narasumber lainnya, yaitu Kepala Desa Simardangiang, sekaligus perwakilan dari Masyarakat Hukum Adat (MHA) Simardangiang, Tampan Sitompul.Acara ini bertujuan untuk mendiskusikan tantangan dan solusi yang dapat diambil untuk melindungi ekosistem Batang Toru, serta memperkuat peran masyarakat adat dalam upaya pelestariannya.

Onrizal membuka pemaparannya dalam diskusi tersebut dengan penggambaran hutan primer Batang Toru sebagai surga di bumi yang ada di Sumatera Utara, yang memiliki keanekaragaman hayati luar biasa. Sebagai hulu sumber air dan penyerap karbon, di kawasan ini terdapat spesies endemic paling langka, yakni Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis).

Menurut Onrizal, dari pengalamannya memasuki hutan primer Batang Toru pada awal 2000-an, kawasan itu memiliki keindahan alam yang memukau, dengan aliran sungai yang jernih dan lingkungan yang tenang, menjadikan kawasan ini sebagai salah satu keajaiban alam yang unik. Lestarinya kawasan ini tidak lepas dari peran masyarakat adat yang sejak dahulu hidup harmonis di dalamnya.

Selain keindahan alamnya, keberadaan orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), primata yang baru diidentifikasi sebagai spesies terpisah pada tahun 2017, menjadi nilai tambah yang sangat berharga. Ekosistem Batang Toru yang luasnya mencapai 156.000 hektare, adalah rumah bagi sekitar 102.000 hektare habitat orangutan Tapanuli.

“Kawasan ini juga menjadi tempat hidup bagi spesies terancam lainnya seperti harimau dan beruang madu. Batang Toru adalah satu-satunya tempat di dunia di mana ketiga spesies ini dapat ditemukan Bersama,” katanya.

Orangutan Tapanuli di Batang Toru mulai menarik perhatian internasional sejak laporan ilmiah pertama oleh Erik Meijaard, seorang peneliti asal Belanda, yang telah melakukan penelitian keberadaan orangutan di wilayah selatan Danau Toba, khususnya di Ekosistem Batang Toru, sekitar akhir tahun 1990-an.

Kemudian pada tahun 1997, laporan ilmiah pertama tentang keberadaan orangutan di wilayah tersebut diterbitkan, sekaligus mengkonfirmasi bahwa populasi orangutan di wilayah itu tersebut masih eksis. Peran Meijaard dan timnya menjadi sangat penting karena penelitian ini membuka perhatian dunia terhadap populasi unik tersebut, yang akhirnya diakui sebagai spesies terpisah, Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), pada tahun 2017. Dari analisis genetik, morfologi, dan ekologi, Orangutan Tapanuli memiliki perbedaan signifikan dengan Orangutan Sumatra (Pongo abelii) dan Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Temuan ini menyentak banyak orang karena sebelumnya tidak ada dokumentasi tentang keberadaan primata ini di selatan Danau Toba sejak Indonesia merdeka.

“Tapi kita juga ada kabar buruknya, bahwa populasi Orangutan Tapanuli diperkirakan kurang dari 800 individu, dan habitat mereka kini hanya mencakup 2,5% dari luas habitat mereka 70 tahun lalu. Kondisi ini menjadikan Orangutan Tapanuli sebagai spesies yang sangat terancam punah (critically endangered). Macam-macam penyebabnya, mulai dari perkebunan, pemukiman dan lainnya,” kata Onrizal.

Menurutnya, dalam pelestarian ekosistem ini, masyarakat adat memainkan peran penting. “Mereka telah lama hidup berdampingan dengan alam, memanfaatkan sumber daya hutan seperti getah kemenyan tanpa merusak keseimbangan ekosistem. Maka sangat penting untuk menjaga kearifan lokal dalam upaya melindungi keanekaragaman hayati di Batang Toru,” imbuhnya.

Keunikan Batang Toru menjadikannya tidak hanya aset lokal, tetapi juga warisan global yang harus dilindungi. Upaya pelestarian yang melibatkan pemerintah, masyarakat adat dan komunitas internasional sangat diperlukan agar kawasan ini tetap menjadi rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa.

“Batang Toru adalah rumah bagi keajaiban alam yang tak tergantikan. Kunikan Batang Toru benar-benar luar biasa. Sebagai perbandingan, jika kita jelajahi seluruh Eropa, kita mungkin hanya menemukan sekitar 124 jenis pohon. Tapi kalau masuk ke 1 hektare saja ke hutan Batang Toru, kita bisa menemukan 300 jenis pohon. Betapa kayanya,” ujar Onrizal.

Sementara itu, Kepala Desa Simardangiang, Tampan Sitompul menjelaskan, hutan tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga identitas dan warisan budaya bagi masyarakat Simardangiang. Masyarakat hidup dari hasil hutan bukan kayu (HHBK) mulai dari kemenyan, petai, jengkol, durian dan lainnya. Kemenyan, atau yang oleh masyarakat menyebutnya dengan nama haminjon, sudah diusahai sejak 400 tahun yang lalu. Selama itu, mereka mengelola sumber daya hutan seperti kemenyan secara lestari tanpa menebang pohon atau merusak ekosistem.

“Kami hidup dari kemenyan. Tidak menebang hutan. Kami pun baru tahu belakangan bahwa kemenyan bisa dibuat untuk parfum Selama ini hanya tau dijual saja, dan dipakai dukun. Alangkah bodohnya kami kalau selama 400 tahun, kami panen kemenyan hanya untuk dukun yang untuk memanggil hantu, jin dan lainnya. Di desa kami tak ada hantu, jin. Yang ada adalah kami, masyarakat adat Simardangiang,” katanya. (On/RJ)

Fitur Aksesibilitas

  • Grayscale

  • High Contrast

  • Negative Contrast

  • Text to Speech

icon

Mengobrol dengan

Halo USU

Halo,
Dengan Layanan Bantuan USU
Ada yang bisa kami bantu hari ini?
- Admin